KEPEMIMPINAN KHULAFAURRASYIDIN
(Untuk Memenuhi Tugas
Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam)
Oleh
:
•
Ilham Muhamad Sya’ban
•
Muhamad Lutfi Mahbubi
•
Helmi Yahya
•
Muhamad
Irpan Hidayatulloh
•
Muhamad
Nawawi
•
Muhamad
Gagan
•
M Ilham
Badrudin
•
Intan Sopia
•
Ignatia
Nandari
•
Marini
Hazmi Alwafi
•
Mita
Indriana
•
Neneng
Latifah
•
Nindy
Nurwulan
KELOMPOK 2
XII – IPS 5
MADRASAH ALIYAH NEGERI SUKAMANAH
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt Tuhan yang maha Esa, yang kiranya
patut penulis ucapkan, karena atas berkat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Sholawat dan salam marilah kita curahkan
kepada Nabi Muhammad Saw.
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk memperdalam dan menjelaskan mengenai masa
kepemimpinan khulafaurrasyidin mulai dari awal
terbentuknya sampai akhir masa kepemimpinan beserta segala tantangan dan
peristiwa penting pada masa tersebut sehingga pembaca memiliki wawasan luas
mengenai khulafaur Rasyidin.
Kami
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua Orang tua, Guru mata
pelajaran Sejarah kebudayaan Islam dan juga kepada teman-teman yang telah
memberikan kepercayaan dan dukungan kepada kami sehingga kami termotivasi untuk
bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.
Mudah-mudahan
makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sehingga pengetahuan dan
pendalaman materi bisa lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari
makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang
dalam sebuah karya sastra yang kami
buat. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua
pembaca.
Tasikmalaya,
September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR
ISI..............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................................1
1.1 Latar
Belakang Masalah ...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah
........................................................................1
1.3 Pembatasan Masalah
....................................................................1
1.4 Tujuan Pembahasan
.....................................................................1
1.5 Manfaat pembahasan
...................................................................1
1.6 Metode Pembahasan
....................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN ..........................................................................................3
2.1
Pengertian Khulafaur Rasyidin ................................................................3
2.2 Masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin ................................................3
2.3 Strategi kepemimpinan kulafaur Rasyidin................................................8
BAB III
PENUTUP
..................................................................................................14
3.1 Simpulan ...................................................................................................14
3.2 Saran
.........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammmad Saw wafat
pada tangal 12 Rabiul awal bertepatan dengan 8 Juni 632 M di Madinah. Beliau
memang sudah membentuk suatu konfederensi (ummah). Namun, untuk menjalankannya
Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan wasiat, pesan, atau menunjuk siapa
diantara sahabatnya untuk menjadi khalifah.
Persoalan politik pertama
yang muncul adalah siapa pengganti imam kaum muslimin karena memang beliau
tidak meninggalkan putra laki-laki atau meninggalkan wasiat. Oleh karena itu,
persoalan politik tersebut menjadi rumit dan nyaris memecah-belah kaum muslimin
di Madinah. Kemudian, bagaimanakah peranan sahabat terkemuka di kalangan
Muhajirin dan Anshar menanggapi suksesi
kepemimpinan umat islam tersebut?
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengertian
khulafaur Rasyidin?
2.
Bagaimana masa kepemimpinan
khulafaur Rasyidin?
3.
Bagaimana strategi
kepemimpinan khulafaur Rasyidin?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan materi pembahasan, kami membatasi
pembahasan sebatas masa kepemimpinan khulafaur Rasyidin beserta strategi
kepemimpinan yang diterapkannya.
1.4 Tujuan Pembahasan
Tujuan dari
pembahasan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memperkaya
pengetahuan mengenai khulafaur Rasyidin.
2. Supaya lebih memahami khulafaur Rasyidin.
3. Menambah wawasan keilmuan.
1.5 Manfaat Pembahasan
Berdasarkan
pembahasan kami, terdapat manfaat pembahasan, yaitu: 1. Secara
Teoretis : Untuk memperkaya pengetahuan mengenai khulafaur Rasyidin.
2.Secara Praktis : Untuk
menambah wawasan bagi si penulis dan si pembaca dalam memahami
khulafaur Rasyidin.
1.6 Metode Pembahasan
Berdasarkan
metode pembahasan , kami menggunakan metode sebagai berikut :
- Deskriptif analisis yaitu
menggambarkan tentang khulafaurrasyidin dengan cara menganalisis,dan menggunkan
teknik observasi, dimana
observasi merupakan pengamatan
atau penelitian pada materi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin merupakan gabungan dari dua kata yaitu
Khulafa dan Rasyidin. Menurut bahasa Khulafa adalah jamak dari kata khalifah
artinya pengganti. Sedangkan Ar-Rasyidin adalah jamak dari Ar Rasyid yang
artinya orang yang mendapat petunjuk. Maka khulafaurrasyidin, berarti para
pengganti orang yang mendapat petunjuk. Khulafaurrasyidin memiliki pengertian
para pengganti dan penerus kepemimpinan islam setelah wafat Rasulullah Saw.
Istilah khulafaurrasyidin, diberikan kepada para sahabat yang terpilih menjadi
pengganti Rasulullah Saw setelah wafat dan bukan sebagai Nabi atau Rasul. Maka
khulafaurrasyidin termasuk generasi terbaik setelah zaman Rasulullah seperti
hadis Nabi Muhammad tentang sebaik-baik zaman. Khulafaurrasyidin terdiri dari empat Khalifah, yaitu Abu Bakar
Ash-Siddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
2.2 Masa Kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin
1.
Abu
Bakar as-Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Setelah Rasulullah saw wafat, sebagian
umat Islam Madinah berupaya untuk menetapkan penggantinya sebagai pemimpin umat
Islam. Para pemuka Anshar dari Bani Aus dan Khazraj berkumpul di Saqifah Bani
Saidah untuk mendiskusikan masalah suksesi kepemimpinan itu. Kesepakatan yang
diambil adalah mencalonkan Sa’ad bin Ubadah dari Bani Khazraj sebagai pengganti
Rasulullah saw. Sa’ad bin Ubadah merupakan tokoh Anshar yang terkemuka. Namun,
sebagian pemuka Bani Aus belum menyatakan persetujuannya.
Upaya para pemimpin Anshar itu sangat
mengejutkan kaum Muhajirin yang tengah sibuk mengurus jenazah Rasulullah saw.
Mendengar upaya kaum Ansar itu, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah
bin Jarrah segera pergi menuju ke tempat pertemuan. Menurut mereka, golongan
Muhajirin lebih berhak menggantikan Rasulullah saw.
Setelah tiba di Saqifah Bani Saidah,
Abu Bakar meminta waktu untuk berbicara. Dalam pidatonya, ia mengemukakan
keutamaan kaum Muhajirin sebagai orang yang mula-mula masuk Islam. Mereka
berjuang di sisi Rasulullah saw. dalam menyiarkan dan menegakkan Islam. Selain
itu, sebagai konsekuensi dari perjuangannya tersebut, mereka mengalami duka
nestapa bersama Rasulullah. Oleh karena itu, kaum Muhajirin lebih berhak
menggantikan Rasulullah saw dalam memimpin umat. Meskipun demikian, Abu Bakar
melanjutkan bahwa kaum Ansar juga mempunyai kelebihan dalam perjuangan
menegakkan Islam. Tak seorang pun kaum muslimin yang mengingkari keikhlasan
kaum Anshar dalam menerima serta membela Islam dan pemeluknya. Dengan dasar
pertimbangan tersebut, kaum Muhajirin lebih berhak untuk memimpin.
Pada mulanya, kaum Anshar tidak dapat
menerima pernyataan Abu Bakar tersebut. Salah seorang pemuka Anshar dari Bani
Khazraj, al-Khabbab bin Munzir, bangkit dan menyatakan pendiriannya bahwa
jabatan pimpinan harus diberikan kepada kaum Anshar. Apabila kaum Muhajirin
tidak menyetujui, ia mengemukakan sebaiknya masing-masing memiliki pemimpin
sendiri.
Pernyataan al-Khabbab ini
mengisyaratkan suatu perpecahan di kalangan umat Islam. Sebagian besar yang
hadir tidak setuju dengan pendapat tersebut. Dalam suasana yang tegang, Basyir
bin Sa’ad, pemuka Ansar dari Bani Aus, tampil ke depan menyatakan bahwa kaum
Ansar membela Islam semata-mata berdasar rida Allah dan ketaatan kepada
Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak layak apabila mereka berebut jabatan
pimpinan dengan kaum Muhajirin. Rasulullah saw. berasal dari suku Quraisy,
kaumnya lebih berhak menggantikannya.
Statemen Basyir ini memberikan
pengaruh yang mendalam terhadap kaum Anshar. Mereka dapat memahami penjelasan
yang dikemukakan Basyir tersebut. Akhirnya, kesadaran terhadap motivasi
perjuangan pun muncul mengalahkan ambisi yang tak tampak sebelumnya. Emosi yang
bergolak untuk berebut jabatan pimpinan menjadi luruh. Hadirin yang berkumpul
pun akhirnya menjadi tenang.
Pada situasi demikian, Abu Bakar
tampil dengan usulan untuk mencalonkan Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin
Jarrah sebagai calon pengganti Rasulullah saw. Dengan serentak keduanya menolak
pernyataan Abu Bakar tersebut. Umar merasa khawatir, apabila usulan tersebut
diterima, justru akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Di samping
itu, ia sendiri merasa bahwa Abu Bakar memiliki berbagai kelebihan apabila
dibandingkan dengan dirinya. Umar bin Khattab segera memegang tangan Abu Bakar
dan membaiatnya. Perbuatan ini segera diikuti Abu Ubaidah bin Jarrah dan Basyir
bin Sa’ad. Selanjutnya, yang hadir ikut pula membaiatnya.
Baiat pertama atas diri Abu Bakar
disebut Baiat Saqifah. Baiat ini
hanya dilakukan orangyang hadir di pertemuan Saqifah. Baiat kedua disebut al-Baiat al-‘Amah, artinya baiat umum
oleh umat Islam. Peristiwa ini dilaksanakan di Masjid Nabawi. Pada baiat ini
hampir seluruh kaum muslimin Madinah menyatakan persetujuannya.
Zubair bin Awwam dan beberapa pemuka
Bani Hasyim belum membaiatnya pada pertemuan Saqifah. Saat itu, mereka sibuk
mengurus jenajah Rasulullah saw. Baru pada baiat kedua mereka ikut
melakukannya. Adapun Ali bin Abi Talib baru membaiatnya enam bulan kemudian,
yaitu setelah meninggalnya Fatimah, istrinya yang juga putri Rasulullah saw.
Pada baiat yang kedua, Abu Bakar
menyampaikan pidato pengangkatannya, “Wahai
sekalian manusia. Sekarang aku telah memangku jabatan yang kalian percayakan
kepadaku. Padahal, aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Apabila aku
menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Akan tetapi, apabila aku berbuat
salah, luruskanlah. Orang yang kalian nilai kuat, sebenarnya kuanggap lemah.
Adapun yang kalian pandang lemah adalah orang yang kuat dalam pendapatku. Oleh
karena itu, aku akan mengambilkan haknya dari yang kuat, Insya Allah. Hendaknya
kalian taat kepadaku, selama aku patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi,
apabila aku mengingkari Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian taat kepadaku.
Marilah kita menunaikan salat dan semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya
kepada kita.”
Pemilihan dan penetapan Abu Bakar
sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya dilakukan oleh
perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang
hadir pada saat di Saqifah waktu itu. Setelah itu, diikuti pembaiatan yang
kedua di Masjid Nabawi. Model pemilihan ini ditempuh karena Rasulullah saw.
tidak menunjuk secara langsung pengganti atau mewariskan kepemimpinan kepada
siapa pun. Abu Bakar diberi gelar Khalifaturrasulullah,
artinya pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat.
Abu Bakar as-Siddiq memerintah selama 2
tahun 3 bulan. Setelah menderita sakit selama 15 hari, ia pulang ke rahmatullah
pada usia 62 tahun. Tepatnya, pada tanggal 2 Jumadilakhir 13 H. Jenazahnya
dimakamkan di samping makam Rasulullah saw.
2. Umar Bin Khattab (13-23 H/634-644)
Sepeninggalan abu bakar, Umar bin kattab ditetatpkan sebagai
penggantinya.
Pengangkatan ini dilakukan oleh abu
bakar sendiri pada saat menjelang wafatnya.
Dengan demikina, penepatannya sebagai
kepala pemerintah berbeda dari
pengangkatan
Abu bakar. Jika khalifah yang pertama
diangkat berdasarkan penerimaan secara aklamasi,
Khalifah kedua ditetapkan berdasarkan
penunjukan dari khalifah yang masih memegang jabatan.
Kemudian, penunjukan itu disepakati oleh
masyarakat.
Menjelang wafat, Abu Bakar secara diam-diam berpikir tentang siapa tokoh
yang pantas menggantikannya. Setelah meneliti pribadi masing-masing pemuka umat
islam pada waktu itu, pilihannya jatuh kepada Umar bin Khattab. Meskipun
demikian, Abu Bakar tidak gegabah bertindak sendiri dalam mengambil keputusan
penting ini. Ia kemudian mengajak musyawarah tokoh-tokoh terkemuka tentang
penunjukan Umar. Mereka yang diajak berdiskusi, anatara lain Abdur Rahman bin
Auf, Usman bin Affan, Usaid bin Khudair al-Ansari, Sa’id bin Zaid, dan Talhah
bin Ubaidilah.
Mereka
tidak keberatan atas penunjukan Abu Bakar tersebut. Setelah merasa yakin bahwa
pilihannya dapat diterima para pemuka islam, Abu Bakar memanggil Usman Bin
Affan untuk mencatat wasiat atau pesan tentang penggantinya. Dalam amanahnya,
khalifah menetapkan bahwa setelah ia wafat, Umar bin Khattab ditunjuk sebagai
pemimpin umat dan kepala pemerintahan. Umar bin Khattab dibai’at setelah
jenazah Abu Bakar dimakamkan. Umar bin Khattab memerintah selama 10 tahun 6
bulan, yaitu dari 13-23 H/634-644 M. Ia adalah pemimpin islam yang pertama kali
memakai gelar Amirul Mukminin. Sebutan ini disesuaikan dengan jabatan dan
tugasnya untuk memimpin orang-orang yang beriman.
Umar
bin Khattab meninggal pada bulan Zulhijah 23-14H/644 M dalam usia 63 tahun. Ia
meninggal karena luka tikaman Abu Lu’lu’ah dari Persia. Tragedi ini merupakan
pembunuhan politik pertama dalam sejarah islam.
c.
Utsman bin Affan (24-35 H/644-656 M)
Sebelum wafat Umar bin Khattab hanya menunjuk
beberapa sahabat terkemuka sebagai formatur untuk menetapkan siapa yang paling
pantas menjadi pemimpin umat islam. Mereka yang diangkat sebagai anggota tim
formatur adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidilah,
Zubair bin Awwam, Sa’ad bin abi Waqosh, Abdur Rahman bin Auf. Keenam sahabat
ini mempunyai hak pilih dan dipilih. Untuk melengkapi anggota tim, Umar bin
Khattab menunjuk putranya Abdullah bin Umar. Yang terakhir ini mempunyai hak
pilih, tetapi ia tidak mempunyai hak untuk dipilih.
Setelah Umar meninggal, tim formatur segera
mengadakan sidang untuk memilih khalifah. Perundingan berjalan cukup alot,
masing-masing anggota bersikeras untuk terpilih. Abdur Rahman bin Auf sebagai
ketua sidang berupaya untuk menjernihkan persoalan. Pada akhirnya, forum
mengarah pada dua calon saja, yaitu Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Abdur Rahman bin Auf sebagai ketua tim
formatur, mengajak penduduk Madinah untuk salat berjama’ah di masjid. Seusai
solat berjama’ah, Abdur Rahman bin Auf memanggil Ali bin Abi Thalibmaju ke
depan mimbar dan bertanya “Apakah Anda
bersedia berjanji menegakkan Kitab Allah, sunah Rasul, dan mengikuti
kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dan Umar?.
Atas pertanyaan tersebut, Ali bin Abi Thalib menjawab,
“Saya akan menegakan dan berpegang pada
kitab Allah, sunah Rasul dan pengetahuan (ijtihad) saya.”
Selanjutnya, Abdur Rahman bun Auf memanggil Usman bin
Affan dan menanyakan hal yang sama. Calon kedua ini menjawab. “Ya, saya akan
berpegang pada Kitab Allah, sunah Rasul, dan kebijaksanaan yang telah ditempuh
Abu Bakar dan Umar.”
Mendengar jawaban ini, Abdur Rahman bin Auf
langsung memegang tangan Usman dan membaiatnya sebagai khalifah. Segenap yang
hadirkemudian ikut pula memberi baiat kepadanya. Ali bin Abi Thalib sempat
kecewa dengan tata cara yang dilakukan Abdur Rahman Bin Auf. Namun, akhirnya ia
ikut memberi baiat pula kepada Usman bin Affan.
Penetapan Usman bin Affan sebagai khalifah
dilakukan dengan cara mempercayakan pengambilan keputusan kepada seseorang,
setelah melalui tim formatur yang ditunjuk. Hal ini merupakan praktik baru yang
berbeda dari pengangkatan Abu Bakar dan Umar. Pemilihan tersebut merupakan sistem
yang pertama kali terjadi dalam sejarah kalifah islam.
d.
Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)
Sesudah Usman bin Affan meninggal,
kepemimpinan umat islam beralih ke tangan Ali bin Abi Thalib. Ia dikenal
sebagai seorang yang gagah berani, tangkas, pandai bermain pedang, dan sangat
dalam pengetahuannya.
Setelah Usman bin Affan terbunuh,
Madinah berada di bawah kendali para pemberontak. Kepemimpinan islam mengalami kekosongan
untuk sementara waktu. Umat islam tidak bisa dibiarkan tanpa pemimpin. Untuk
mengisi kekosongan tersebut, para pembangkang berpendapat bahwa yang paling
pantas menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya mereka pergi ke
rumah Ali bin Abi Thalib dan mendesaknya untuk menerima jabatan kahlifah
tersebut.
Pada
awalnya, Ali bin Abi Thalib menolak permintaan mereka karena tidak ada pemuka
islam yang mendukungnya. Karena kuatnya desakan mereka, Akhirnya Ali bin Abi
Thalib menerima jabatan khalifah tersebut. Atas bai’at pemberontak ini, Ali
ditetapkan sebagai khalifah keempat dalam jajaran Khulafaur Rasyidin.
Setelah
masyarakat memberinya bai’at, Ali bin Abi Thalib berpidato, “Wahai sekalian manusia! Kamu semua telah
membai’at saya, sebagaimana yang kamu lakukan terhadap ketiga khalifah
sebelumku. Saya hanya boleh menolak sebelum pilihan ditetapkan. Apabila
penunjukan sudah diputuskan, penolakan tidak diizinkan lagi. Imam harus teguh
dan rakyat harus patuh. Bai’at terhadap diriku adalah merata dan umum. Barang siapa
yang ingkar, terpisahlah ia dari islam.”
Menanggapi
pembai’atan Ali bin Ali Thalib, para sahabat terkemuka terbagi menjadi beberapa
kelompok. Pertama mereka yang mau berbai’at walaupun pada mulanya mereka enggan
menyatakan persetujuan. Yang termasuk golongan ini, antara lain Zubair bi Awwam
dan Talhah bin Ubaidillah. Mereka mau membai’at Ali bin Abi Thalib dikarenakan
desakan dari kaum pemberontak. Kedua, mereka yang tidak mau berbai’at karena
menuntut pengusutan atas terbunuhnya Usman bin Affan. Yang termasuk golongan
ini antara lain Aisyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Hasan bin Sabit, Ka’ab bin
Malik, Abu Sa’id al-Kudriy, dan Muhmmad bin Maslamah. Ketiga mereka yang tidak
mau menyatakan pendiriannya untuk berbai’at atau tidak. Yang termasuk
kelolompok ini antara lain Sa’ad bin Abi Waqqosh, Abdullah bin Umar, Zaid bin
Sabit, dan Usamah bin Zaid.
Pengangkatan
Ali bin Abi Thalib berbeda dengan pengangkatan khalifah sebelumnya. inisiatif
pemberian bai’at datang dari kaum pemberontakan.mereka memaksa Ali bin Abi Thalib
sehingga ia tidak dapat mengelak dari desakan tersebut. Menyadari hal itu,
akhirnya para sahabat terkemuka menyetujui pengangkatan dan penetapan Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah.
Ali
bin Abi Thalib memerintah selama empat tahun sembilan bulan, yaitu dari bulan dzulhijah tahun 36 H/656 M sampai bulan
ramadhan tahun 41 H/661 M ia meninggal pada usia 63 tahun karena dibunuh oleh
Abdur Rahman bin Muljam. Dengan wafatnya Ali bin Abi Talib, berakhirnya masa
kekhalifan khulafaur Rasyidin.
2.3
Strategi Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin
Keempat
Khulafaur Rasyidin yang berbeda-beda dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah.
Hal ini disebabkan situasi dan kondisi yang dihadapi masing-masing khalifah
tidaklah sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dipaparkan strategi
kepemimpinan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khatttab, Usman bin Affan
dan Ali bin Thalib.
a.
Strategi
Kepemimpinan Abu Bakar as-Siddiq
Setelah
mendapatkan bai’at dari penduduk Madinah, hal pertama yang dilakukan Abu Bakar
adalah memerangi pasukan Romawi yeng menguasai perbatasan Suriah. Sebenarnya,
pengiriman pasukan ini merupakan keputusan Rasulallah saw. Karena beliau wafat,
Usamah menunda keberangkatanya dan kembali ke Madinah meskipun banyak sahabat
lainnya yang tidak setuju dengan keputusannya, Abu Bakar tetap mengirimkan
Usamah bin Zaid ke Romawi. Selama 40 hari meninggalkan Madinah dalam rangka
mengemban tugas, mereka pulang dengan membawa kemenangan.
Pada
masa awal pemerintahan Abu Bakar, ada tiga masalah besar yang dihadapi, yaitu
adanya kaum murtadin (kaum Riddah), munculnya nabi-nabi palsu, dan kelompok
yang ingkar membanyar zakat. Untuk mengembalikan mereka kepada ajaran islam
khalifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dengan pemimpin masing-masing.
Setiap panglima pasukan mendapat perintah untuk mengembalikan keamanan dan
stabilitas daerah yang ditentukan.
Adapun
kesebelah panglima dan tugasnya sebagai berikut.
1). Khalid bin Walid
diperintahkan untuk memerangi Tulaihah bin Khuwailid yang mengaku sebagai nabi
dan Malik bin Nuwairah yang memimpin pemberontakan di Al-battah, suatu daerah
di Arab tengah.
2). Ikrimah bin Abu Jahal
diberi tugas untuk memerangi Musailamah al-Kazzab, seorang kepala suku yang
mengaku sebagai nabi. Gerakan ini muncul di daerah Bani Hanifah yang terlelak
dipesisir timur Arab.
3). Syurahbil bin Hasanah
mendapat tugas membantu Ikrimah, sebagai pasukan cadangan. Jika tugasnya
selesai, ia dan tentaranya diperintahkan langsung menuju pusat wilayah Yamamah.
4). Muhajir bin Umayyah
diutus untuk menundukkan sisa-sisa pengikut Aswad al-Ansi (orang pertama) yang
mengaku sebagai nabi di Yaman. Selanjutnya, ia harus menuju ke Hadramaut untuk
menghadapi pemberontakan yang dipimpin Kais bin Maksyuh di jazirah Arab
selatan.
5). Khuzaifah bin Muhsin
al-Gafani diperintahkan untuk mengamankan daerah Daba yang terletak di wilayah
Tenggara, dekat Oman sekarang, juga karena pemimpin mereka mengaku sebagai
nabi.
6). Arfajah bin Harsamah
ditugaskan untuk mengembalikan tugas dasar stabilitas daerah Muhrah dan Oman yang
terletak di pantai selatan jazirah Arabia. Mereka membangkang terhadap
kepemimpinan islam dibawah Khalifah Abu Bakar.
7). Suwaib Bin Muqorin
diperintahkan mengamankan daerah Tihamah yang terletak di sepanjang laut merah.
Mereka juga membangkang terhadap kepemimpinan Abu Bakar.
8). Al-Alla bin Hadrami
mendapatkan tugas ke daerah kekuasaan kaum Riddah yang terletak di daerah
Bahrain. Mereka memberontak terhadap kepemimpinan Islam Madinah.
9). Amru bin Ash diutus ke
wilayah suku Kuda’ah dan Wadi’ah yang terletak di barat laut Jazirah Arabia.
Mereka pun membelot terhadap kepemimpinan Islam.
10). Khalid bin Sa’id
mendapat tugas menghadapi suku-suku besar bangsa Arab yang ada di wilayah
tengah bagian utara sampai ke perbatasan Suriah dan Irak yang juga menunjukan
pembangkangan terhadap kekuasaan Islam.
11). Ma’an bin Hijaz
mendapat tugas untuk mengahadapi kaum Riddah yang berasal dari suku salim dan
Hawazin di daerah Ta’if yang membangkang terhadap para pembangkang. Akhirnya,
suku-suku yang memberontak dapat dikembalikan pada ajaran islam.
Dengan sikap yang teguh, pendirian yang kuat, keberanian,
dan keyakinan pada kebenaran misi tersebut, kesebelas pasukan itu melaksanakan
tugas dengan baik. Sebagian dari pasukan ekspedisi ini dapat menyelesaikan
tugas dengan damai tanpa pertumpahan darah. Namun, sebagian terpaksa
menggunakan kekerasan terhadap para pembangkang. Akhirnya, suku-suku yang
memberontak dapat dikembalikan pada ajaran Islam.
Setelah dapat mengembalikan stabilitas keamanan Jazirah
Arabia, Abu Bakar beralih pada permasalahan luar negeri. Pada saat itu, di luar
kekuasaan islam terdapat dua adidaya yang dinilai dapat mengganggu keberadaan
Islam, baik secara politis maupun agama. Kedua kerajaan itu adalah Persia dan
Romawi.
Pada tahap pertama, Abu Bakar terlebih dahulu menaklukan
Persia. Pada bulan Muharram tahun 12 H/633 M, ekspedisi ke luar Jazirah Arab
dimulai. Musanna dan pasukannya yang dikirim ke Persia menghadapi perlawanan
sengit dari tentara kerajaan tersebut. Mengetahui hal itu, Abu Bakar segera
memerintahkan Khalid bin Walid yang sedang berada di Yamamah untuk membawa
pasukannya membantu Musanna. Gabungan kedua pasukan ini segera bergerak menuju
wilayah Persia. Kota Ubullah yang terletak di pantai Teluk Persia, segera
diserbu. Pasukan berhasil diporak-porandakan. Perang ini dalam sejarah islam
disebut Mauqi’ah Zat as-Salasil, artinya peristiwa untaian Rantai.
Pada tahap kedua, Abu Bakar
berupaya menaklukan kerajaan Romawi dengan membentuk empat pasukan.
Masing-masing kelompok dipimpin seorang panglima dengan tugas menundukkan
daerah yang ditentukan. Keempat kelompok tentara dan panglimanya itu adalah
sebagai berikut.
1). Abu Ubaidah bin Jarrah
bertugas ke daerah Homs, Suriah utara, dan Antiokia.
2). Amru bin As mendapat
perintah untuk menaklukan wilayah Palestina yang saat itu berada di bawah
kekuasaan Romawi timur.
3). Syurahbil bin Hasanah
diberi wewenang menundukan Tabuk dan Yordania.
4). Yazid bin Abu Sufyan
mendapat perintah untuk menaklukan Damaskus dan Suriah selatan.
b.
Strategi Kepemimpinan Umar bin Khattab
Setelah menerima baiat dari kaum
muslimin, hal pertama yang dilakukan Umar bin Khattab adalah memberhentikan
Khalid bin Walid dari jabatan tertinggi pasukan Islam. Sebagai gantinya, ia
menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah. Penggantian ini dilakukan pada saat tentara
Islam sedang bertempur melawan pasukan Romawi di Yarmuk. Alasan utama
pemberhentian itu adalah adanya kecenderungan tentara Islam untuk mengagungkan
panglimanya. Pada saat itu, ia dikenal sebagai panglima yang pamdai mengatur
pasukannya. Ketika ditanya tentang penggantian dan partisipasinya dalam
perjuangan selanjutnya, Khalid menjawab, “Saya berjuang bukan karena Umar,
tetapi karena Allah.”
Di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin
Jarrah, pasukan muslimin terus mengadakan perluasan wilayah Islam. Satu demi
satu wilayah kekuasaan Romawi dapat ditundukkan. Kota Damaskus pun segera dapat
dikuasai. Kota-kota lain, seperti Hims, Qinnisrin, Laziqiyah, Halb, yang semua
terletak di Suriah Utara dan Akka, Yaffa, serta Khazzah yang terletak di bagian
selatan dari wilayah Asia Kecil (wilayah Turki sekarang) jatuh ke tangan
pasukan Islam.
Gerak maju tentara ini selanjutnya
diarahkan untuk merebut Palestina. Adanya benteng yang kukuh menyebabkan
pasukan Islam mengalami kesulitan menembus pertahanan Yerussalem. Untuk merebut
kota ini, strategi yang dilakukan adalah dengan memblokade atau mengepung dari
hubungan dengan luar.
Pada musim semi 638 M, sebuah delegasi
keluar dari kota dengan misi damai. Dalam perundingan antara kedua belah pihak
disepakati penyerahan Yerusalem dengan tiga syarat. Pertama, disepakati adanya
gencatan senjata antara kedua belah pihak. Kedua, Yerusalem hanya akan
diserahkan kepada penguasa tertinggi dari pihak Islam. Ketiga, sisa pasukan
Romawi yang ada diizinkan pergi menuju Mesir tanpa hambatan dari pihak Islam.
Khalifah Umar bin Khattab menyetujui
perjanjian itu dan segera berangkat ke Palestina. Penyerahan kota suci itu
dilakukan oleh Patriach Sophorius kepada Khalifah Umar bin Khattab. Selanjutnya,
penyerangan dilanjutkan ke Mesir dan sekitarnya.
Pada tahun 639 M, satu demi satu daerah
yang berada dibawah kekuasaan Mesir ditundukkan. Rakyat Mesir justru banyak
membantu terlaksananya penaklukan ini. Sikap yang demikian disebabkan penderitaan
yang dialami penduduknya selama berada dalam kekuasaan Romawi. Mereka lebih
suka berada dibawah kekuasaan Islam daripada penjajahan Romawi.
Dengan jatuhnya Iskandariyah, Ibukota
Mesir waktu itu, praktik perlawanan sudah berakhir. Mukaukis, penguasa wilayah
tersebut menyatakan takluk dan bersedia membayar jizyah dalam posisinya sebagai
ahluz zimmah. Peristiwa penaklukan
ini terjadi pada tahun 642 M. Setahun berikutnya, kota-kota pantai, seperti
al-Amin, Matruh, hingga Tripoli berhasil ditundukkan.
Sementara itu, di front timur,Khalid
bin Walid mengadakan penyerangan ke Yarmuk. Pemguasa Persia memerintahkan
panglima Rustam untuk merebut Mesopotamia dan Hirah. Pertempuran sengit terjadi
antara pasukan Islam dan Persia. Pasukan muslim terdesak dan mundur menunggu
bantuan darin Madinah. Umar bin Khattab segera mengirim pasukan ke Persia yang
dipimpin Sa’ad bin Abi Waqqas. Pada tahun 637 M, perang besar yang terjadi
antara pasukan Islam dan Persia. Peristiwa itu terjadi di Qadisiyyah, suatu
daerah yang terletak dekat Hirah. Tentara Persia dapat dihancurkan dan Rustam
tewas di medan tempur.
Panglima Sa’ad bin Abi Waqqas terus
membersihkan sisa-sisa pasukan Persia yang melarikan diri. Dalam pengejaran
ini, pasukan Islam dapat merebut kota Babilon, yang pernah menjadi Kerajaan
Babilonia Kuno. Selanjutnya, ibukota Persia, Ctesiphon,dapat dikuasai setelah
terjadi pengepungan selama tiga bulan. Penguasa Persia Khosru Yazdajird III,
melarikan diri menuju daerah Asia Tengah.
Pada tahun 643 M, daerah al-Jibal,
Merv, Ahwaz, Sussa, Nihawan, dan lainnya yang terletak di Persia Utara dapat
ditaklukkan. Demikian juga wilayah diseberang Sungai Amu Dariya, seperti
Tabaristan dan Azerbaijan berhasil ditundukkan. Begitupun dengan Khurasan,
Balkan, Naisabur, dan daerah lainnya di Persia bagian Timur.
Strategi kepemimpinan Umar bin Khattab
lebih menitikberatkan pada perluasan wilayah kekuasaan Islam. Khalifah Umar bin
Khattab melanjutkan perluasan Islam yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Pada
masa Umar bin Khattab kekuasaan Islam terbentang dari Tripoli (Afrika Utara) di
barat sampai ke Persia di timur dan dari Yaman di selatan hingga Armenia di
utara. Dalam kurun waktu 10 tahun, daerah yang dikuasai umat Islam bertambah
secara spektakuler.
c. Strategi
Kepemimpinan Usman bin Affan
Sesudah Usman bin Affan dibaiat sebagai
khalifah, ia mulai mengatur siasat dan strategi kepemimpinannya. Dalam
kebijakan politiknya, Usman bin Affan mulanya mengikuti jejak khalifah
sebelumnya. Oleh karena itu, pada paruh pertama pemerintahannya,
keputusan-keputusan yang dibuat merupakan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya.
Namun, pada paruh kedua, Usman bin Affan mulai mengubah gaya pemerintahannya.
Hal itu tampak dengan penggantian hampir semua gubernur yangdiabngkat Umar bin
Khattab. Akibatna, timbul gejolak masyarakat karena penguasa baru menetapkan peraturan
yang memberatkan mereka, terutamadi Mesir. Selain Mesir, daerah yang bergejolak
adalah Azerbaijan dan Armenia. Kesewenangan pimpinan baru ini telah menimbulkan
pemberontakan penduduk setempat.
Pada awalnya, kekuatan rakyat yang
kecewa atas kebijakan Usman, dapat mengalahkan pasukan pemerintah. Namun,
akhirnya mereka dapat ditundukkan kembali. Azerbaijan diamankan oleh tentara
yang dipimpin Abdullah bin Suhail dan al-Walid bin Ukbah, sedangkan Armenia
dikuasai kembali oleh panglima Salman bin Rabi’ah.
Ditinjau dari strategi kepemimpinannya,
Usan bin Affan tidak jauh berbeda dengan Umar bin Khattab. Yang menjadi perbedaan adalah penggantian
beberapa gubernur sehingga menimbulkan gejolak dan dinilai lebih mementingkan
hubungan kerabat dalam pengangkatannya. Meskipun demikian, strategi
kepemimpinan Usman bin Affan dalam melanjutkan penaklukan Asia tengah telah
memperluasa kekuasaan di Madinah. Pada masa akhir pemerintahannya, kekuasaan
Usman bin Affan membentang dari Tripoli di barat sampai seluruh Asia Tengah di
Timur dan dari Yaman di selatan sampai Armenia Utara, Azerbaijan, dan Turkistan
Utara.
d. Strategi kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
Pada
masa pemerintahannya, Ali bin Abi Talib disibukkan oleh perpecahan yang terjadi
di kalangan umat Islam. Seluruh waktunya dicurahkan untuk menyelesaikan masalah
tersebut sehingga tidak terjadi perluasan wilayah, sebagaimana yang dilakukan
oleh khalifah sebelumnya.
Pengangkatan
Ali bin Abi Talib sebagai khalifah dilaksanakan dalam suasana yang masih kacau
karena terbunuhnya Usman bin Affan. Ketika itu ibu kota negara berada dalam
kendali para pemberontak. Ali bin Abi Talib ditetapkan sebagai penguasa atas
desakan dari para pemberontak. Banyak sahabat terkemuka yang menyatakan
persetujuannya dengan tidak sepenuh hati, seperti Zubair bin Awwam dan Talhah
bin Ubaidillah.
Kontak
fisik pun tak dapat dielakkan antara umat Islam dan Ali bin Abi Talib.
Peristiwa ini disebut Waqi'ah al-Jamal atau Perang Unta karena panglima perang
itu mengendarai unta yang dipimpin oleh Aisyah, salah satu istri Rasulullah
saw. Ia dibantu oleh Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah. Ketiga tokoh
ini menuntut kepada Ali bin Abi Talib untuk mengusut tuntas atas pembunuhan
Usman bin Affan sebelum mereka memberi baiat. Karena Ali bin Abi Talib tak
segera menyelesaikan pengusutan tersebut, mereka akhirnya pada 36 H/657 M
memberangkatkan pasukan dari Mekah menuju Basrah. Mendengar berita itu, Ali bin
Abi Talib segera mengerahkan pasukannya untuk membendung gerakan mereka. Bentrok
antara Ali bin Abi Talib dan Aisyah ini merupakan tragedi pertama dalam sejarah
umat Islam. Talhah bin Ubaidillah terpanah dan meninggal dunia dalam perjalanan
mengundurkan diri. Zubair bin Awwam terbunuh pada akhir pertempuran. Adapun
Aisyah dikembalikan ke Madinah dengan penuh penghormatan.
Perang
besar antarmuslimin yang kedua terjadi lagi, yaitu antara Khalifah Ali bin Abi
Talib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan yang disebut Perang Siffin. Perang ini
diakhiri dengan diadakannya tahkim atau arbitrase. Sebagai wakil dalam
perundingan, pihak Mu'awiyah bin Abi Sufyan menunjuk Amru bin As yang dikenal
sangat pandai berdiplomasi. Adapun pihak Ali bin Abi Talib menunjuk Abu Musa
al-Asy'ari, seorang tokoh senior dari kaum Muhajirin yang juga dikenal
kejujuran, kesalehan, dan wara'.
Hasil
arbitrase adalah untuk sementara waktu, tidak ada kekhalifahan dan akan
ditentukan berikutnya siapa yang berhak menduduki jabatan khalifah. Kesempatan
ini digunakan Mu'awiyah untuk memproklamasikan diri sebagai khalifah dengan
alasan untuk mengisi kekosongan khalifah. Hal ini membuat pengikut Ali
terpecah. Sebagian dari mereka segera keluar dari barisan dan menamakan diri
sebagai Khawarij. Sebagian lagi yang masih mendukung Ali bin Abi Talib
menamakan diri Syi'ah. Sejak saat itu, di kalangan umat Islam telah terbentuk
suatu kelompok politik yang terpisah dari golongan yang sudah ada, yaitu
pengikut Ali dan pengikut Mu'awiyah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan
materi pembahasan, setelah Rasulullah Saw wafat maka kepemimpinan islam
dilanjutkan oleh khulafaur Rasyidin mulai dari Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib selama kurang lebih 30 tahun. Dalam
masa tersebut terdapat beberapa peristiwa penting dan kebijakan baru yang
diterapkan dalam kepemimpinannya. Namun, diantara tokoh islam juga sering
muncul perselisihan yang disebabkan oleh pemilihan ataupun kebijakan yang
diambil oleh khalifah, misalnya Ali bin Abi Thalib yang ditentang oleh Aisyah
dalam perang jamal.
3.2 Saran
Berdasarkan materi pembahasan, kita bisa mengambil banyak
pelajaran dari masa Khulafaur Rasyidin. Seperti sifat sabar, tegas, adil dan
bijaksana yang ditunjukkan oleh keempat khalifah tersebut. Dengan demikian,
penulis mengajak kepada para pembaca dan penulis sendiri mari bersama-sama
meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah Swt. Mudah-mudahan kita selalu
berada dalam bimbingan dan perlindungan Allah Swt. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama Republik
Indonesia.2014.Sejarah Kebudayaan Islam
VII.Jakarta:Kementrian Agama 2014.
Wahid, N Abbas.2009.Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam XII.Solo:PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Wahid, Ngatmin Abbas.2014.Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam X.Solo:Pt
Tiga Serangkai Mandiri.